Imam Syafi'ie

(MUHAMMAD BN IDRIS ASY-SYAFI'IE)*
*ANAK YATIM YANG DIMULIAKAN OLEH ALLAH TA'ALA*


Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza) di bumi Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi'ie dengan seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi'ie[1] <#_ftn1>. Demikian nama lengkapnya sang bayi itu, namun kebahagiaan keluarga miskin
ini dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa saat setelah kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Bayi lelaki yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai anak yatim.

Sang ibu sangat menyayangi bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang shahabat Nabi *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam* yang bernama Syafi' bin As-Sa'ib. Dan As-Sa'ib ayahnya Syafi', sempat tertawan
dalam perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Sa'ib menebus dirinya dengan uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam*. Maka nasab bayi yatim ini secara lengkap adalah sebagai berikut: Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' bin As-Sa'ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin idris Asy-Syafi'ie , adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam*. Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam*,
bernama Syifa', dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa'ib ayahnya Syafi'. Kepada Syafi' bin As-Sa'ib *radhiyallahu 'anhuma* inilah bayi yatim tersebut dinisabkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi'ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam*. Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi
Manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam* bersabda:

"Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau." (HR. *Abu Nu'aim Al-Asfahani* dalam *Hilyah*nya juz 9 hal. 65-66).[2] <#_ftn2>

Di lingkungan Bani Al-Mutthallib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah sehingga di kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah yang dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran, sehingga dia terkenal sebagai anak muda yang ahli memanah. Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada seorang ahli kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter itu menyatakan kepadanya: "Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikuatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu banyak berdiri di bawah panas terik mata hari."[3] <#_ftn3> Maka mulailah anak yatim ini mengurangi kegiatan panah memanah dan mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab dan menekuni bait-bait sya'ir Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya'irnya dalam usia kanak-kanak. Disamping itu dia juga menghafal Al-Qur'an, sehingga pada usia tujuh tahun telah menghafal di luar kepala Al-Qur'an keseluruhannya.[4] <#_ftn4>

Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya'irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama' fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin Khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad
bin Ali bin Syafi', dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bn Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa'id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama' fiqih sebagaimana tersebut di atas. Ia pun demi kehausan ilmu, akhirnya berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah An
Nabawiyah guna belajar di halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu *Al-Muwattha'*. Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu Asy-Syafi'ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: "Seandainya tidak ada Malik bin Anas
dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz." Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: "Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu." Beliau juga sangat terkesan dengan kitab *Al-Muwaththa'* Imam Malik sehingga beliau menyatakan: "Aku tidak membaca *Al-Muwattha'* Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku."[5] <#_ftn5> Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama' yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa'ad, Isma'il bin Ja'far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan
madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi'ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Ketika Muhammad bin Idris As-Syafi'i Al-Mutthalibi Al-Quraisy telah berusia dua puluh tahun, dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Ulama' di jamannya dalam berfatwa dan berbagai ilmu yang berkisar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tetapi beliau tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulama'nya. Disebutkanlah sederet Ulama' Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan *tour* ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma'il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.[6] <#_ftn6>

Sejak di kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idri Asy-Syafi'ie mulai dikerumuni para muridnya dan mulai menulis berbagai keterangan Agama. Juga beliau mulai membantah beberapa keterangan para Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam*. Kitab fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di dunia Islam yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu beliau untuk menimba ilmu. Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majelis beliau untuk menimba ilmu padanya seperti Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau ini adalah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali), Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya'qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab *Al-Haidah*), Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di * tahdzir* oleh Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qur'an adalah makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Za'farani, Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari murid-murid beliau di Baghdad, yang paling terkenal sangat mengagumi beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam Hanbali.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan : "Aku pernah bertanya kepada ayahku: Maka ayahku menjawab: ."

Diriwayatkan pula oleh Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali): "Pernah ayahku berjalan disamping keledai yang ditumpangi Imam Asy-Syafi'ie untuk bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Ma'ien sahabat ayahku mengirim orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan kepadanya: . Maka ayah pun menyatakan kepada Yahya: ."[7] <#_ftn7>

Disamping Imam Hanbali yang sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam *Tarikh*nya dengan sanadnya dari Abu Tsaur. Dia menceritakan: "Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada Asy-Syafi'ie, dan waktu itu Asy-Syafi'ie masih muda belia. Dalam surat itu Abdurrahman meminta kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya makna-makna Al-Qur'an, dan juga mengumpulkan berbagai macam tingkatan hadits, keterangan tentang kedudukan ijma' (kesepakatan Ulama') sebagai hujjah/dalil, keterangan hukum yang nasikh (yakni hukum yang
menghapus hukum lainnya) dan hukum yang mansukh (yakni hukum yang telah dihapus oleh hukum yang lainnya), baik yang ada di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Maka Asy-Syafi'ie muda menuliskan untuknya kitab *Ar-Risalah* dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi. Begitu membaca kitab * Ar-Risalah* ini, Abdurrahman menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada Asy-Syafi'ie sehingga beliau menyatakan: "Setiap aku shalat, aku selalu mendo'akan Asy-Syafi'ie."

Kitab *Ar-Risalah* karya Imam Asy-Syafi'ie akhirnya menjadi kitab rujukan utama bagi para Ulama' dalam ilmu Ushul Fiqih sampai hari ini. Pujian para Ulama' dan kekaguman mereka bukan saja datang dari orang-orang yang seangkatan dengan beliau dalam ilmu, akan tetapi datang pula pujian itu dari para Ulama' yang menjadi guru beliau. Antara lain ialah Sufyan bin Uyainah, salah seorang guru beliau yang sangat dikaguminya. Sebaliknya Sufyan pun sangat mengagumi Imam Asy-Syafi'ie, sampai diceritakan oleh Suwaid bin Saied sebagai berikut: "Aku pernah duduk di majelis ilmunya Sufyan bin Uyainah. Asy-Syafi'ie datang ke majelis itu, masuk sembari mengucapkan salam dan langsung duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang menyampaikan ilmu. Waktu itu Sufyan sedang membacakan sebuah hadits yang sangat menyentuh hati. Betapa lembutnya hati beliau saat mendengar hadits itu menyebabkan Asy-Syafi'ie mendadak pingsan. Orang-orang di majelis itu menyangka bahwa
Asy-Syafi'ie meninggal dunia sehingga peristiwa ini dilaporkan kepada Sufyan: . Maka Sufyan pun menyatakan: ."[8] <#_ftn8>

Demikian pujian para Ulama' yang sebagiannya kami nukilkan dalam tulisan ini untuk menggambarkan kepada para pembaca sekalian betapa beliau sangat tinggi kedudukannya di kalangan para Ulama' yang sejaman dengannya. Apalagi tentunya para Ulama' yang sesudahnya.

Imam Asy-Syafi'ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada tahun. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab *Ar-Risalah* dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab *Musnad Asy-Syafi'ie*, berupa kumpulan hadits Nabi *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam* yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab *Al-Um* berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana *Al-Um*, kumpulan riwayat keterangan Imam Asy-Syafi'ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama *Ma'rifatul Aatsar was Sunnan.* Al-Imam Abu Nu'aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan pernyataan Imam Asy-Syafi'ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan pendirian Imam Asy-Syafi'ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nu'aim tersebut kami nukilkan sebagai
berikut[9] <#_ftn9>:

Imam Asy-Syafi'ie menyatakan : "Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam*." (*HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani *dalam *Al-Hilyah*nya juz 9 hal. 109)

Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.

Imam Asy-Syafi'ie menyatakan: "Sungguh seandainya seorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa dan syirik, lebih baik baginya daripada ia mempelajari ilmu kalam." (*HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani *dalam *Al-Hilyah*nya juz 9 hal. 111)

Beiau menyatakan juga: "Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan."

Ini menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat.

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi' bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar Asy-Syafi'ie berkata: "Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir." (*HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani *dalam * Al-Hilyah*nya juz 9 hal. 113)

Diriwayatkan pula oleh Abu Nu'aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam Asy-Syafi'ie telah mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan beliau bahwa Al-Qur'an itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam Asy-Syafi'ie dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Dan memang para Ulama' Ahlis Sunnah wal Jama'ah telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang menyakini bahwa Al-Qur'an itu makhluk.

Al-Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang menyatakan : "Aku bertanya kepada Asy-Syafi'ie: maka beliaupun menjawabnya: . Akupun bertanya lagi kepada beliau: Maka beliaupun menjawab: ."[10] <#_ftn10>

Demikian Imam Asy-Syafi'ie mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bid'ah seperti yang disebutkan contohnya dalam pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang mengikuti aliran Rafidlah yang di Indonesia sering dinamakan Syi'ah. Aliran Syi'ah terkenal dengan sikap kebencian mereka kepada para Shahabat Nabi *shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam*, khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada aliran bid'ah lainnya seperti Qadariyah yaitu aliran
pemahaman yang menolak berima kepada rukun Iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta'ala). Juga aliran Murji'ah yang menyatakan bahwa iman itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Murji'ah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan bagi Imam Asy-Syafi'ie untuk melarang orang sholat di belakang imam
yang berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini.

Imam Asy-Syafi'ie juga amat keras menganjurkan Ummat Islam untuk jangan ber *taqlid* (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga meninggalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya. Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam beberapa pesan sebagai berikut:

Al-Hafidh Abu Nu'aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam *Hilyah*nya dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya: "Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi'ie berkata: ."[11] <#_ftn11>

Demikianlah para Ulama' bersikap tawadlu' sebagai kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya. Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya, meskipun sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu di murid. Guru-guru utama Imam Asy-Syafi'ie (yakni Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah) dengan terang-terangan mengakui keutamaan ilmu Asy-Syafi'ie. Bahkan Imam Sufyan bin Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi'ie saat Imam Asy-Syafi'ie ada di majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi'ie duduk di majelis itu sebagai salah satu murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya.[12] <#_ftn12> Tetapi meskipun demikian, Imam Asy-Syafi'ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya. Beliau tetap mendatangi majelis gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat
penting pula dari pernyataan Imam Asy-Syafi'ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas, menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits shahih itu berasal.

Imam Asy-Syafi'ie menyatakan pula: "Semua hadits yang dari Nabi Muhammad *shallallahu
'alayhi wa alihi wasallam *maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku."[13] <#_ftn13>

Demikian beliu memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu adalah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.